BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Pemerintahan digital kini menjadi salah satu tonggak utama reformasi birokrasi di Indonesia. Sejak pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi berbagai sektor, pemerintah pusat dan daerah berlomba menerapkan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Mulai dari administrasi kependudukan, pajak, perizinan usaha, hingga pengaduan masyarakat — semuanya diarahkan ke platform daring.
Namun di balik semangat efisiensi dan modernisasi, muncul pertanyaan penting: apakah transformasi digital ini benar-benar menghadirkan kemudahan bagi seluruh warga negara, atau justru menambah jarak antara daerah maju dan tertinggal?
Transformasi digital pemerintahan daerah memang menjanjikan birokrasi yang lebih cepat, transparan, dan akuntabel. Tetapi di sisi lain, kesenjangan akses internet, literasi digital, serta kapasitas sumber daya manusia masih menjadi tantangan serius. Digitalisasi yang tak inklusif dapat melahirkan ketimpangan baru dalam pelayanan publik — antara mereka yang terkoneksi dan mereka yang tertinggal di dunia offline.
Secara konsep, pemerintahan digital (e-government) bertujuan menjadikan teknologi sebagai sarana utama dalam tata kelola negara. Dengan sistem digital, warga dapat mengakses layanan publik tanpa harus datang ke kantor pemerintahan, sementara aparat bisa bekerja lebih efisien dengan data yang terintegrasi.
Indonesia sudah memiliki payung hukum dan arah kebijakan yang jelas, di antaranya Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Kebijakan ini menekankan integrasi data, keamanan siber, dan interoperabilitas antarinstansi.
Di tingkat pusat, berbagai kementerian telah menerapkan layanan digital — misalnya OSS (Online Single Submission) untuk perizinan usaha, e-Kinerja ASN, hingga portal Satu Data Indonesia.
Namun, implementasi di daerah sangat bervariasi. Pemerintah kota besar seperti Surabaya, Bandung, dan Semarang dikenal memiliki inovasi digital yang maju — mulai dari e-Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan online) hingga aplikasi layanan masyarakat berbasis lokasi. Sebaliknya, banyak daerah lain yang masih berjuang membangun infrastruktur dasar seperti jaringan internet stabil dan perangkat komputer di kantor desa.
Beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan keberhasilan dalam mengadaptasi era digital.
Kota Surabaya, misalnya, mengembangkan e-Office dan e-Health, yang memungkinkan seluruh administrasi surat-menyurat dan layanan kesehatan publik terintegrasi secara digital. Hal ini bukan hanya memangkas waktu pelayanan, tetapi juga menekan potensi praktik korupsi kecil dalam birokrasi.
Kota Bandung meluncurkan aplikasi Lapor!, e-Samapta, dan SIPAKU (Sistem Informasi Pelayanan Administrasi Kependudukan Umum), yang memudahkan warga mengurus dokumen tanpa perlu antre panjang.
Sementara itu, di Kabupaten Banyuwangi, digitalisasi pemerintahan dilakukan bersamaan dengan promosi ekonomi kreatif dan pariwisata. Aplikasi Smart Kampung menjadi contoh nyata bagaimana desa-desa bisa bertransformasi menjadi pusat layanan digital masyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lokal.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa ketika komitmen kepala daerah tinggi dan infrastruktur memadai, transformasi digital dapat membawa dampak besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Tantangan di Lapangan: Kesenjangan dan Kapasitas
Namun, tak semua daerah menikmati kemudahan yang sama.
Masih banyak pemerintah kabupaten dan kota yang menghadapi kendala serius. Menurut laporan Kementerian Kominfo, sekitar 12.000 desa di Indonesia pada 2025 masih memiliki akses internet yang terbatas. Artinya, pelayanan publik digital tidak bisa diakses sepenuhnya oleh warga di wilayah tersebut.
Selain itu, literasi digital aparatur pemerintah juga menjadi persoalan utama. Banyak pegawai negeri di daerah belum terbiasa menggunakan sistem daring secara efektif. Ada pula resistensi terhadap perubahan — sebagian pegawai merasa sistem manual lebih “aman” dan mudah dipahami.
Belum lagi persoalan anggaran daerah. Pengembangan sistem digital membutuhkan investasi besar: perangkat keras, server, keamanan siber, hingga pelatihan SDM. Daerah dengan APBD kecil sering kali tak mampu menutupi kebutuhan tersebut, sehingga transformasi digital berjalan setengah hati.
Akibatnya, muncul ketimpangan baru antara daerah yang siap dan yang belum. Digitalisasi yang seharusnya mempermudah malah berisiko memperlebar jurang pelayanan publik.
Transformasi digital pemerintahan hanya akan berhasil jika prinsip keadilan akses menjadi landasan utama.
Artinya, setiap warga — di kota maupun pelosok desa — harus memiliki peluang yang sama untuk memanfaatkan layanan digital. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab untuk memastikan distribusi infrastruktur internet yang merata dan program literasi digital yang berkelanjutan.
Langkah-langkah seperti Program Desa Digital, Bakti Kominfo, dan Pembangunan Palapa Ring sebenarnya merupakan upaya strategis untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Namun implementasinya masih perlu pengawasan dan evaluasi ketat agar tidak berhenti pada seremoni atau pilot project semata.
Selain itu, penting pula untuk membangun interoperabilitas antar sistem. Banyak daerah memiliki aplikasi layanan sendiri-sendiri, tetapi tidak saling terhubung. Akibatnya, data terfragmentasi dan efisiensi digital tidak tercapai. Integrasi antar platform nasional dan daerah harus menjadi prioritas agar pelayanan publik benar-benar berjalan lancar dan akurat.
Transparansi dan Keamanan Data Publik
Digitalisasi membawa peluang besar untuk transparansi — sekaligus risiko baru.
Sistem pemerintahan berbasis elektronik menyimpan jutaan data pribadi warga: dari KTP, pajak, hingga catatan medis. Tanpa perlindungan yang kuat, kebocoran data bisa menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional dan privasi publik.
Karena itu, penerapan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) harus berjalan paralel dengan transformasi digital pemerintahan. Pemerintah daerah wajib memastikan sistem keamanannya memadai dan pegawai yang mengelola data sudah tersertifikasi atau minimal paham prinsip-prinsip dasar keamanan siber.
Selain keamanan, aspek transparansi juga perlu diperkuat. Platform digital seharusnya memungkinkan warga memantau secara terbuka penggunaan anggaran publik, progres proyek pembangunan, dan hasil kebijakan daerah. Dengan begitu, digitalisasi tidak hanya mempermudah administrasi, tapi juga memperkuat akuntabilitas pemerintah.
Transformasi digital bukan hanya urusan pemerintah. Masyarakat dan sektor swasta memiliki peran besar dalam memastikan keberlanjutan inovasi.
Masyarakat dapat menjadi pengguna aktif sekaligus pengawas layanan digital, memberikan umpan balik, dan ikut berpartisipasi dalam pengembangan aplikasi berbasis kebutuhan lokal.
Sementara sektor swasta — terutama startup teknologi — dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam membangun ekosistem digital yang adaptif dan efisien. Kolaborasi publik-swasta, jika dikelola dengan prinsip keterbukaan dan kepentingan publik, dapat mempercepat digitalisasi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di daerah.
Menuju Pemerintahan Digital yang Berkeadilan
Transformasi pemerintahan digital bukan sekadar proyek teknologi, melainkan proyek peradaban. Ia menuntut perubahan cara pandang: dari kekuasaan yang terpusat menuju pelayanan yang partisipatif.
Kunci keberhasilan bukan hanya pada aplikasi atau sistem, melainkan pada komitmen politik, kepemimpinan yang visioner, dan kemampuan adaptasi birokrasi. Digitalisasi harus memanusiakan, bukan menggantikan manusia. Pegawai negeri harus diberdayakan, bukan ditinggalkan oleh mesin.
Ke depan, arah kebijakan digital pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada efisiensi, tetapi juga keadilan sosial. Setiap warga, tanpa memandang lokasi geografis atau tingkat pendidikan, berhak merasakan manfaat dari negara digital yang inklusif.
Jika semua itu bisa diwujudkan, Indonesia tak sekadar menjadi negara dengan sistem digital modern, tapi juga pemerintahan yang benar-benar melayani rakyat secara adil, terbuka, dan manusiawi.
Transformasi digital di pemerintahan daerah adalah langkah besar menuju Indonesia modern. Namun keberhasilan sejati bukan diukur dari jumlah aplikasi yang diluncurkan, melainkan dari sejauh mana rakyat di pelosok mampu merasakan manfaatnya.
Digitalisasi harus menjadi jembatan, bukan tembok. Inovasi yang hebat akan kehilangan makna jika hanya dinikmati segelintir orang di kota besar. Maka, tugas utama pemerintah kini adalah memastikan bahwa teknologi tidak menjadi sumber ketimpangan baru, melainkan alat untuk menghadirkan pelayanan publik yang cepat, bersih, dan merata.
Hanya dengan prinsip inklusifitas dan keadilan akses, cita-cita pemerintahan digital Indonesia dapat benar-benar terwujud — bukan sekadar slogan, tetapi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke.
