BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Polemik mengenai pengelolaan aset Universitas Sumatera Utara (USU) kembali mencuat setelah muncul desakan agar kasus perkebunan sawit “Kebun Tabuyung” diselidiki secara pidana. Aset kebun yang dikelola melalui Koperasi Produsen Pengembangan USU (KPP USU) disebut menjadi jaminan kredit senilai ratusan miliar rupiah di bank nasional. Berbagai pihak kini menyoroti potensi pelanggaran hukum yang bisa membuat aset kampus itu terancam hilang.

Kisah lahan Kebun Tabuyung berawal dari program Land Grant College tahun 1998. Pemerintah menyerahkan lahan seluas lebih dari 5.500 hektare di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, kepada Universitas Sumatera Utara. Tujuannya adalah agar lahan tersebut menjadi sumber pendanaan mandiri bagi universitas serta sarana pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Untuk mengelola lahan tersebut, USU membentuk Koperasi Produsen Pengembangan USU (KPP USU). Koperasi ini diberi mandat untuk mengelola dan mengembangkan potensi lahan sawit secara profesional. Namun, dalam perjalanannya, pengelolaan itu berubah menjadi bentuk kerja sama dengan pihak swasta.

Sejak 2011, KPP USU menjalin kemitraan dengan pihak swasta melalui perusahaan bernama PT Usaha Sawit Unggul (USUg), yang sahamnya terdiri atas 15 persen milik KPP USU dan 85 persen milik pihak swasta, yakni PT Asian Agri Lestari. Skema ini dimaksudkan untuk memperkuat manajemen dan permodalan kebun. Akan tetapi, seiring waktu, pengelolaan tersebut justru menimbulkan polemik serius.

Masalah mulai mencuat setelah muncul laporan bahwa PT Usaha Sawit Unggul mengajukan kredit ke Bank BNI senilai sekitar Rp 228 miliar, dengan menjadikan lima sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Tabuyung sebagai agunan. Kredit ini diduga diajukan pada 2021 dan kembali diperbarui pada 2023.

Sejumlah pihak mempertanyakan keabsahan penggunaan aset tersebut sebagai jaminan, mengingat lahan Tabuyung adalah hasil hibah pemerintah untuk kepentingan pendidikan. Bila kredit bermasalah atau gagal bayar, aset universitas dikhawatirkan bisa berpindah tangan kepada pihak ketiga.

Selain itu, muncul pertanyaan mengenai penggunaan dana hasil kredit tersebut. Beberapa laporan menyebutkan b6ahwa kebun sudah merugi selama beberapa tahun sebelum pengajuan kredit dilakukan, sehingga publik menilai tidak wajar bila perusahaan masih mengajukan pinjaman dengan nilai sebesar itu.

Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU) dan sejumlah anggota Majelis Wali Amanat (MWA) USU mendesak agar kasus ini dibawa ke jalur pidana. Mereka menilai ada kejanggalan serius dalam proses pengajuan kredit dan pemanfaatan aset negara yang berpotensi merugikan keuangan negara.

FP-USU bersama sejumlah elemen masyarakat akademik menyatakan telah menyerahkan laporan resmi kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) pada awal September 2025. Laporan tersebut menyoroti dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan kebun sawit dan penggunaan aset universitas sebagai jaminan bank.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa kredit Rp 228 miliar tersebut tidak seharusnya diberikan karena agunan yang digunakan adalah lahan yang berstatus hibah pemerintah. Pihak pelapor meminta agar Kejatisu menyelidiki proses kredit, menelusuri aliran dana, dan menindak pihak yang diduga menyalahgunakan kewenangan.

Salah satu perwakilan FP-USU, Dr. Hendra Simanjuntak, menyatakan bahwa kasus ini bukan semata persoalan manajemen, melainkan potensi tindak pidana penyalahgunaan aset negara.

“Lahan Tabuyung adalah amanah bagi pendidikan. Bila aset itu dijadikan jaminan tanpa izin pemerintah, maka hal itu berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis, 9 Oktober 2025.

FP-USU mendesak Kejati Sumut segera menindaklanjuti laporan tersebut agar tidak ada pihak yang berlindung di balik status koperasi atau kerja sama bisnis. Mereka menilai, penggunaan aset negara harus diaudit secara menyeluruh dan transparan.

Menanggapi berbagai tudingan, pihak Universitas Sumatera Utara menyampaikan klarifikasi resmi. Prof. Dr. Luhut Sihombing, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor V Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Internasional, menegaskan bahwa universitas tidak terlibat langsung dalam pengajuan kredit tersebut.

“USU tidak pernah menandatangani atau menyetujui pinjaman sebesar Rp 228 miliar itu. Pengajuan kredit adalah keputusan dan tanggung jawab KPP USU sebagai badan hukum koperasi yang terpisah dari universitas,” ujar Prof. Luhut di Medan, Rabu, 8 Oktober 2025.

Ia menambahkan, universitas tetap berkomitmen untuk menjaga seluruh aset agar tidak lepas dari kendali akademik.

“Kami sudah melakukan langkah hukum dan administrasi untuk memastikan lahan Tabuyung kembali menjadi aset resmi universitas. Saat ini proses akuisisi sedang berjalan dan kami juga berkoordinasi dengan Kejati Sumut,” jelasnya.

Prof. Luhut juga menyebut bahwa isu yang menyeret nama Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., dalam kasus tersebut adalah bentuk fitnah.

“Bapak Rektor sama sekali tidak terlibat dalam pengajuan kredit atau pengelolaan koperasi. Fokus beliau adalah mengembalikan lahan Tabuyung agar sah secara hukum menjadi milik USU,” tegasnya.

Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, melalui pernyataan resminya, menyebutkan bahwa kampus telah membentuk tim khusus untuk menelusuri seluruh dokumen kepemilikan dan kontrak kerja sama dengan pihak swasta. Langkah itu dilakukan untuk memastikan posisi hukum universitas tetap kuat.

“Kami sedang melakukan proses akuisisi secara bertahap untuk mengembalikan status lahan Tabuyung sebagai aset universitas. Semua proses dilakukan transparan dan sesuai regulasi. USU tidak akan membiarkan satu pun aset pendidikan berpindah tangan,” kata Prof. Muryanto dalam keterangannya di Medan, Kamis, 9 Oktober 2025.

Ia menegaskan bahwa kerja sama dengan pihak swasta pada dasarnya dimaksudkan untuk penguatan ekonomi kampus, bukan untuk menggadaikan aset.

“Kita akan pastikan tidak ada pelanggaran hukum. Bila ditemukan unsur pidana, kami akan mendukung penuh penegak hukum,” tambahnya.

Sementara itu, sumber dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara membenarkan bahwa laporan terkait dugaan pelanggaran pengelolaan aset USU telah diterima. Namun hingga kini, pihak Kejati masih dalam tahap verifikasi awal.

“Laporan tersebut sudah kami terima. Saat ini tim sedang melakukan telaah dan pengumpulan bahan keterangan. Kami belum bisa menyimpulkan ada atau tidaknya unsur pidana sebelum pemeriksaan mendalam selesai,” ujar Kasi Penkum Kejati Sumut, Yos A Tarigan, S.H., M.H., saat dikonfirmasi pada Jumat, 10 Oktober 2025.

Ia menambahkan, Kejati Sumut akan bekerja secara objektif dan profesional tanpa intervensi dari pihak mana pun.

“Kami akan memastikan bahwa setiap laporan yang masuk diproses sesuai hukum dan berdasarkan bukti yang ada,” katanya.

Kebun Rugi, Kredit Jalan Terus

Salah satu hal yang menjadi sorotan publik adalah kondisi finansial kebun itu sendiri. Berdasarkan laporan keuangan internal koperasi, usaha perkebunan sawit di Tabuyung mengalami kerugian bertahun-tahun akibat biaya operasional yang tinggi, penurunan harga sawit, dan kendala produksi. Namun, meski merugi, kredit dalam jumlah besar tetap diajukan.

Menurut sejumlah pakar ekonomi pertanian, langkah itu menimbulkan tanda tanya.

“Kredit dengan agunan lahan pendidikan seharusnya melalui persetujuan pemerintah atau kementerian terkait. Bila tidak, maka bisa dianggap melanggar aturan penggunaan aset negara,” ujar Dr. Budi Harahap, pakar hukum agraria dari Universitas Negeri Medan, Jumat, 10 Oktober 2025.

Ia menilai, kasus Kebun Tabuyung bisa menjadi contoh penting bagi universitas negeri lainnya agar berhati-hati dalam mengelola aset komersial.

“Perguruan tinggi negeri harus memisahkan dengan tegas antara aset pendidikan dan usaha komersial. Keduanya tidak boleh tumpang tindih secara hukum,” ujarnya.

Pakar hukum keuangan negara, Dr. Erni Hasibuan, M.H., menilai bahwa bila terbukti aset hibah digunakan untuk jaminan kredit tanpa izin, maka kasus ini bisa masuk ke ranah tindak pidana korupsi.

“Aset hibah pemerintah tidak boleh dijadikan agunan kredit. Itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan aset negara,” ujarnya.

Selain ancaman pidana, risiko lain yang dihadapi USU adalah hilangnya sebagian hak kepemilikan lahan jika terjadi wanprestasi terhadap pihak bank. Jika Bank BNI melakukan eksekusi jaminan, maka USU bisa kehilangan aset bernilai strategis.

“Nilai ekonomi lahan Tabuyung mencapai lebih dari dua ratus miliar rupiah. Tapi nilai sosial dan pendidikan jauh lebih besar. Hilangnya aset itu bisa berdampak langsung pada reputasi dan keberlanjutan universitas,” kata Erni.

Hingga saat ini, belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Proses penyelidikan di Kejati Sumut masih berjalan. Pihak USU menyatakan siap bekerja sama penuh dengan aparat penegak hukum untuk membuka seluruh dokumen terkait pengelolaan lahan.

Masyarakat akademik berharap agar penyelesaian kasus ini tidak hanya berakhir pada sanksi pidana, tetapi juga menjadi momentum perbaikan tata kelola aset universitas di seluruh Indonesia. Banyak pihak menilai, kasus Kebun Tabuyung merupakan contoh bagaimana aset pendidikan dapat terancam jika dikelola tanpa pengawasan ketat.

Kasus Kebun Tabuyung memperlihatkan kompleksitas antara manajemen akademik, bisnis, dan hukum. Aset yang seharusnya menopang dunia pendidikan justru terancam akibat praktik pengelolaan yang belum transparan. Universitas Sumatera Utara kini dihadapkan pada dua tugas besar: mempertahankan aset strategisnya dan menjaga integritas lembaga dari tuduhan publik.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara masih menelaah laporan dugaan pelanggaran hukum, sementara USU berupaya mengembalikan status lahan sebagai aset pendidikan. Di tengah proses itu, publik menunggu langkah nyata agar aset negara bernilai miliaran rupiah tidak jatuh ke tangan yang salah.