BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. Bencana banjir kembali melanda sejumlah daerah di Indonesia. Pertanyaan klasik pun muncul: siapa yang seharusnya bertanggung jawab — pemerintah atau masyarakat?

Data terbaru menunjukkan bahwa hingga Oktober 2025, banjir masih menjadi bencana paling sering terjadi di tanah air.

Data dan Fakta Nasional

Berdasarkan laporan Goodstats (2 Juli 2025) yang merangkum data dari BNPB, sepanjang Januari hingga Juni 2025 telah terjadi 1.048 kejadian banjir di seluruh Indonesia. Jumlah ini menjadikan banjir sebagai bencana paling dominan, melampaui puting beliung (334 kali) dan tanah longsor (249 kali).

BNPB dalam Buletin Info Bencana Juni 2025 juga mencatat dari total 182 bencana di bulan tersebut, 60 kejadian merupakan banjir.

Sementara itu, Geoportal BNPB hingga 2 Juli 2025 melaporkan bahwa 281 orang meninggal, 449 luka-luka, dan lebih dari 4,3 juta orang terdampak atau mengungsi akibat berbagai jenis bencana — sebagian besar akibat banjir dan cuaca ekstrem.

Banjir juga melanda tiga daerah di Sumatera Utara, menyebabkan 13.000 warga terdampak, menurut laporan resmi BNPB pada 13 Oktober 2025.

“BNPB: Banjir rendam 3 daerah di Sumut, 13.000 warga terdampak.”

Sementara itu, Detik Sumut (13/10/2025) melaporkan bahwa banjir di Kota Medan menyebabkan 3.361 rumah terdampak dan 845 warga mengungsi. Sebanyak 10.841 jiwa dilaporkan terdampak langsung akibat hujan deras dan luapan sungai.

Data Pusdalops Sumut (12/10/2025) menambahkan, 194 jiwa dari 80 keluarga terdampak banjir di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, akibat luapan Sungai Babura.

Analisis: Dua Arah Tanggung Jawab

1. Pemerintah

Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam perencanaan tata ruang dan infrastruktur drainase.
Masih tingginya angka kejadian banjir menandakan persoalan serius dalam:

  • Normalisasi sungai dan saluran air,
  • Pemeliharaan infrastruktur lama, dan
  • Pengawasan konversi lahan resapan menjadi pemukiman atau industri.

Dalam laporan BNPB dan BMKG, peningkatan curah hujan akibat anomali iklim hanya menjadi pemicu, bukan penyebab utama. Penyebab struktural tetap pada daya serap air dan sistem drainase yang kurang baik di perkotaan, termasuk di Medan dan Deli Serdang.

Kementerian PUPR telah mengalokasikan dana penanganan banjir dan longsor tahun 2025 sekitar Rp12,4 triliun, namun implementasi di lapangan kerap terhambat faktor koordinasi antarinstansi dan keterlambatan proyek daerah.
(Sumber: [KemenPUPR, APBN 2025])

2. Masyarakat

Di sisi lain, masyarakat juga berperan penting dalam memicu maupun mengurangi risiko banjir.
Fenomena pembuangan sampah ke sungai dan parit masih menjadi masalah kronis di kota-kota besar. BPBD Sumut menyebut, tumpukan sampah dan sedimentasi menjadi penyebab utama tersumbatnya drainase di kawasan padat penduduk.

Sampah domestik, plastik, dan sisa bangunan mempersempit saluran air.
Dalam beberapa titik di Medan, kegiatan gotong royong memang dilakukan, tetapi belum rutin dan tidak terkoordinasi di tingkat kelurahan.

Fakta dari berbagai laporan menunjukkan bahwa:

  • Pemerintah bertanggung jawab pada infrastruktur, tata ruang, dan mitigasi bencana.
  • Masyarakat bertanggung jawab pada perilaku lingkungan dan kebersihan drainase.

Banjir di Indonesia — termasuk di Sumatera Utara — merupakan hasil kegagalan kolektif antara sistem yang belum terintegrasi dan perilaku publik yang belum disiplin.
Karena itu, menyalahkan satu pihak saja tidak menyelesaikan masalah.

Jika kedua pihak berjalan bersama — pemerintah memperbaiki sistem, masyarakat menjaga lingkungan — maka banjir bukan lagi bencana tahunan, tapi tantangan yang bisa dikendalikan.