BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali menorehkan langkah tegas dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) ditangkap dan resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan aset PTPN I yang melibatkan pengembang besar PT Ciputra Group.

Kedua pejabat tersebut adalah Askani, mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara, dan Abdul Rahman Lubis, mantan Kepala Kantor BPN Deli Serdang. Keduanya diduga terlibat dalam penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan milik PTPN I tanpa memenuhi kewajiban administratif dan hukum yang diatur dalam perjanjian kerja sama.

Penangkapan dilakukan pada Senin, 13 Oktober 2025 di Medan. Tim penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sumut langsung menahan kedua tersangka setelah menjalani pemeriksaan intensif sebagai saksi. Setelah ditemukan bukti kuat, status mereka dinaikkan menjadi tersangka.

“Setelah melalui pemeriksaan mendalam dan ditemukan dua alat bukti yang cukup, penyidik memutuskan untuk menetapkan dan menahan keduanya,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Yos A Tarigan, dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/10/2025).

Keduanya ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Tanjung Gusta Medan guna kepentingan penyidikan lebih lanjut. Kejati menegaskan bahwa penahanan ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan penghilangan barang bukti atau upaya melarikan diri.

Kasus Citraland dan Aset PTPN I: Jejak Panjang di Balik Mega Properti

Kasus yang kini dikenal publik sebagai “Kasus Citraland” bermula dari kerja sama antara PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) dan PT Nusa Dua Propertindo (NDP) — perusahaan yang merupakan bagian dari Ciputra Group.

Dalam kerja sama itu, PTPN I menyerahkan sebagian lahan HGU (Hak Guna Usaha) untuk dikelola bersama menjadi kawasan hunian elite Citraland Helvetia, di Kecamatan Sunggal, Deli Serdang. Namun, belakangan ditemukan adanya penerbitan sertifikat HGB tanpa pemenuhan kewajiban hukum berupa penyerahan 20% lahan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam ketentuan tata ruang dan peraturan agraria.

Menurut Kejati Sumut, peralihan status lahan dari HGU ke HGB tersebut dilakukan tanpa melalui proses yang sah. Diduga, kedua mantan pejabat BPN tersebut memuluskan penerbitan sertifikat yang menguntungkan pihak pengembang, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah besar.

Dalam penyelidikan, penyidik menemukan bukti bahwa penerbitan sertifikat HGB dilakukan tanpa verifikasi lengkap terhadap status lahan dan tanpa memenuhi syarat administratif.

Askani, yang saat itu menjabat sebagai Kakanwil BPN Sumut, dan Abdul Rahman Lubis sebagai Kepala BPN Deli Serdang, diduga berperan dalam memberikan persetujuan administratif atas penerbitan sertifikat.

Modusnya sederhana namun fatal: dokumen dinyatakan “lengkap” padahal terdapat kekurangan substantif, terutama mengenai status tanah eks HGU yang belum dilepaskan secara sah oleh negara. Langkah tersebut dinilai melanggar peraturan pemerintah dan perjanjian kerja sama antara BUMN dan pihak swasta.

Kejati Sumut menduga tindakan tersebut dilakukan secara sadar untuk memberi keuntungan sepihak kepada pihak pengembang. Dalam proyek Citraland Helvetia, nilai lahan yang terlibat mencapai puluhan hektare dengan nilai pasar yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.

Pelanggaran Hukum dan Pasal yang Dikenakan

Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur hukuman bagi setiap pejabat yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda maksimal Rp1 miliar.

Kejati Sumut saat ini masih menghitung besaran kerugian negara bersama tim auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan hasil penyidikan awal, nilai kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp100 miliar, berasal dari selisih nilai aset lahan dan kewajiban yang tidak diserahkan oleh pengembang.

Selain kerugian material, kasus ini juga dinilai merugikan negara dari aspek legalitas aset BUMN dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan tanah negara.

Respons Kejati Sumut: “Tak Ada yang Kebal Hukum”

Dalam pernyataannya, Kepala Kejati Sumut menegaskan bahwa penindakan terhadap dua mantan pejabat BPN ini adalah bagian dari komitmen Kejaksaan dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

“Kami tegaskan, tidak ada yang kebal hukum. Siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan jabatan akan diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Yos Tarigan.

Ia juga menambahkan, penyidikan masih terus berkembang, dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru dari pihak BUMN atau pengembang yang terlibat dalam kerja sama tersebut.

Penangkapan dua eks pejabat BPN Sumut menambah daftar panjang kasus dugaan korupsi di lingkungan pertanahan. Dalam lima tahun terakhir, BPN menjadi sorotan publik karena maraknya praktik jual-beli lahan yang menyalahi aturan.

Kasus Citraland Helvetia ini menjadi perhatian nasional karena melibatkan lahan strategis di kawasan bisnis Medan dan pengembang besar Ciputra Group. Para pengamat hukum menilai, kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam pengawasan tata kelola aset negara di sektor properti.

Reformasi Agraria dan Transparansi BUMN

Kasus ini juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap aset BUMN yang dikelola melalui skema kerja sama dengan swasta. Banyak proyek perumahan besar di Indonesia memanfaatkan tanah eks HGU, namun pengawasan terhadap pemanfaatan dan legalitasnya masih minim.

Reformasi agraria yang dicanangkan pemerintah dinilai belum sepenuhnya mampu mencegah praktik korupsi di level birokrasi. Ketika pejabat BPN berkolaborasi dengan pihak swasta tanpa transparansi, potensi kerugian negara menjadi besar.

Selain itu, masyarakat di sekitar kawasan Citraland Helvetia juga mulai mempertanyakan status lahan dan kompensasi sosial yang dijanjikan. Beberapa kelompok warga bahkan berencana mengajukan gugatan hukum terkait hak atas tanah eks perkebunan tersebut.

Penyidik Kejati Sumut kini fokus menelusuri aliran dana hasil penerbitan sertifikat yang diduga melibatkan oknum lain di luar BPN. Beberapa pejabat aktif dan pensiunan dari PTPN I juga telah dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.

Sumber internal Kejati menyebutkan, penyidikan ini bisa berkembang hingga ke tingkat direksi BUMN dan pihak pengembang jika ditemukan bukti keterlibatan langsung.

“Tidak menutup kemungkinan ada tambahan tersangka baru. Kami akan kembangkan sesuai fakta penyidikan,” ujar Yos Tarigan.

Kasus penangkapan dua eks pejabat BPN Sumut menjadi pengingat keras bahwa tata kelola pertanahan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Ketika aset negara dijadikan ladang korupsi, bukan hanya uang negara yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah.

Dengan penahanan Askani dan Abdul Rahman Lubis, Kejati Sumut menunjukkan komitmennya untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Publik kini menanti bagaimana proses hukum ini akan berjalan di pengadilan, dan apakah akan ada pengembalian kerugian negara dari pihak-pihak yang terlibat.