BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. – Gelombang keterbukaan informasi yang melanda birokrasi Indonesia membawa perubahan besar pada wajah pemerintahan. Di era digital yang serba transparan, aparatur sipil negara (ASN) tidak hanya dituntut bekerja efisien, tetapi juga harus menjaga etika dan integritas di setiap tindakan.
Kini, setiap keputusan, laporan, bahkan unggahan media sosial ASN bisa menjadi sorotan publik. Reformasi birokrasi memasuki babak baru — di mana transparansi menjadi ujian moralitas.
Etika dan Integritas: Fondasi Moral ASN
Etika ASN adalah seperangkat nilai yang mengatur perilaku dalam menjalankan tugas. ASN dituntut jujur, adil, terbuka, dan bertanggung jawab. Sementara integritas berarti keselarasan antara kata, tindakan, dan nilai moral yang dipegang teguh, bahkan ketika tidak diawasi.
“Integritas adalah kompas moral bagi ASN. Tanpa itu, birokrasi akan kehilangan kepercayaan publik,” ujar Dr. Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dalam Forum ASN Berintegritas 2024.
Kementerian PANRB telah menetapkan nilai dasar ASN melalui SE No. 22/2021, yaitu BerAKHLAK — singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.
“Nilai-nilai ini harus menjadi karakter ASN, bukan sekadar slogan,” tegas Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas, dalam siaran resmi, Juli 2024.
Integritas ASN Masih Jadi PR Nasional
Meskipun regulasi dan kampanye etika terus digalakkan, data menunjukkan pekerjaan rumah masih banyak.
📊 Fakta Integritas ASN (Sumber: KPK, Kominfo, dan Komisi Informasi Pusat)
- Indeks Penilaian Integritas (SPI) 2021: skor nasional 71,9 dari 100 (kategori “cukup baik”).
- Kasus pelanggaran etik ASN yang ditangani BKN sepanjang 2023 mencapai 1.619 kasus, mayoritas terkait penyalahgunaan wewenang dan disiplin kerja.
- Komisi Informasi Pusat (KIP) 2023 mencatat hanya 64% lembaga pemerintah pusat dan daerah yang dinilai “informatif”, sisanya masih “kurang terbuka”.
KPK menilai, risiko terbesar dalam sistem ASN masih berada di area pengadaan barang dan jasa, gratifikasi, serta konflik kepentingan. Transparansi belum otomatis berarti bersih. Butuh integritas pribadi di balik sistem yang terbuka.
Lahirnya UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 menandai perubahan besar: masyarakat kini memiliki hak untuk mengetahui proses kebijakan dan anggaran publik.
Namun, di era digital, keterbukaan juga menimbulkan tantangan baru. ASN harus berhati-hati menggunakan media sosial dan sistem daring agar tidak melanggar kode etik.
Menurut Pedoman Etika Digital ASN (MAKPI, 2024), ASN wajib:
- Menyampaikan informasi publik yang benar dan akurat;
- Menjaga nama baik instansi;
- Menghindari penyebaran hoaks atau opini pribadi yang menyesatkan publik.
“ASN adalah wajah negara di dunia maya. Etika digital sama pentingnya dengan etika kantor,” tulis laporan MAKPI tersebut.
Budaya Lama vs Tantangan Zaman Baru
Salah satu tantangan terbesar reformasi birokrasi adalah resistensi budaya lama. Banyak ASN masih bekerja dengan pola tertutup, takut transparansi, dan enggan berubah.
SE PANRB No. 07/2022 bahkan mencatat bahwa sebagian ASN “belum meninggalkan pola kerja birokrasi lama yang tidak adaptif terhadap perubahan”.
Padahal, publik kini menuntut layanan cepat, data terbuka, dan komunikasi transparan. Keterlambatan atau keengganan menjawab pertanyaan publik sering dianggap sebagai bentuk ketidakjujuran.
Beberapa instansi telah berhasil memperlihatkan komitmen tinggi terhadap integritas.
Kementerian PANRB & BKN meluncurkan platform e-Lapor dan Sistem Pengawasan Terpadu ASN untuk menekan pelanggaran disiplin.
Kementerian Agama melalui Balitbang Diklat membangun Program Integritas ASN berbasis nilai agama dan moralitas.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memperkuat transparansi lewat portal “LaporGub”, yang memungkinkan warga memantau proses birokrasi secara real time.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa keterbukaan informasi, jika disertai integritas dan komitmen moral, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Menurut pakar administrasi publik Dr. Eko Prasojo, penguatan etika ASN tidak cukup hanya melalui regulasi.
“Yang dibutuhkan adalah role model. Pemimpin harus menunjukkan integritas dalam tindakan nyata — dari keputusan kecil hingga kebijakan besar,” ujarnya dalam Webinar Reformasi Birokrasi Nasional 2024.
Ia menambahkan, pendidikan karakter dan sistem penghargaan bagi ASN berintegritas perlu diperluas. “Integritas harus dihargai, bukan hanya kinerja teknis.”
Untuk memperkuat etika dan integritas di era keterbukaan informasi, para pakar dan lembaga antikorupsi merekomendasikan beberapa langkah strategis:
- Pelatihan etika digital dan integritas berkelanjutan di setiap instansi.
- Transparansi pengelolaan gratifikasi dan benturan kepentingan melalui portal publik.
- Pemanfaatan teknologi informasi yang aman dan akuntabel.
- Penguatan sistem merit dalam promosi jabatan ASN.
- Pemimpin menjadi teladan integritas dalam setiap kebijakan.
Transparansi Bukan Sekadar Data, tapi Kejujuran
Era keterbukaan informasi telah mengubah hubungan antara pemerintah dan rakyat. ASN bukan lagi sekadar pelaksana kebijakan, tetapi juga simbol kepercayaan negara.
Dalam lanskap digital yang serba cepat, integritas dan etika bukan hanya nilai moral, tapi juga mata uang kepercayaan publik.
Seperti disampaikan Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas,
“Reformasi birokrasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi tentang perilaku, kejujuran, dan nilai. Tanpa integritas, semua sistem akan runtuh.”
Keterbukaan informasi adalah cermin: ia tidak hanya memantulkan data, tetapi juga karakter manusia di baliknya.
Dan di situlah, integritas ASN menjadi fondasi utama wajah baru birokrasi Indonesia.
📍 Referensi Resmi:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN
- Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
- PermenPANRB No. 60/2020
- SE Menteri PANRB No. 22/2021 dan No. 07/2022
- Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2021
- Komisi Informasi Pusat RI, Laporan Keterbukaan Informasi 2023
- MAKPI, Pedoman Etika Digital ASN, 2024
- KASN & BKN, Laporan Disiplin ASN 2023
