BONA NEWS. Medan, Sumateta Utara. – Banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera Utara akhir November 2025 menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, infrastruktur, dan lingkungan. Meskipun dampaknya sudah sangat terasa, pemerintah pusat hingga kini belum menetapkan status Darurat Bencana Nasional, memicu desakan dari berbagai pihak agar langkah tersebut segera diambil.

Para ahli lingkungan menekankan bahwa bencana ini bukan semata-mata akibat hujan ekstrem, tetapi juga karena aktivitas manusia di wilayah hulu sungai, termasuk pembukaan hutan dan aktivitas pertambangan yang tidak sesuai kaidah konservasi.

Desakan Penetapan Status Darurat

Sejumlah tokoh masyarakat dan pemerhati lingkungan menegaskan bahwa pemerintah harus segera menetapkan status darurat. Mereka memperingatkan bahwa jika pemerintah menunda respons, ada potensi demonstrasi besar-besaran. Kebutuhan koordinasi cepat mencakup penanganan korban, pengamanan infrastruktur, dan mitigasi risiko bencana susulan.

Perusahaan Hutan dan Dampaknya

Investigasi awal menunjukkan beberapa perusahaan hutan beroperasi di wilayah terdampak, antara lain:

  • PT V/Inhutani V
  • PT Alas Halau

Aktivitas pengelolaan hutan yang tidak mematuhi kaidah konservasi meningkatkan risiko banjir karena tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sementara hujan deras langsung mengalir ke hilir. Beberapa konsesi hutan ini disebut dimiliki oleh pihak swasta, termasuk individu bernama Prabowo, namun pemerintah belum merilis sanksi resmi atau keputusan hukum terkait kepemilikan dan aktivitas perusahaan.

Perusahaan Tambang di Mandailing Natal

Selain perusahaan hutan, aktivitas tambang juga menjadi sorotan, terutama di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Beberapa perusahaan sedang diaudit atau disuspensi operasional sementara menunggu pemeriksaan lingkungan:

  1. PT Agincourt Resources (Tambang Martabe)
  2. PT Perkebunan Nusantara III
  3. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE)
  4. PT Sago Nauli

Sementara itu, PT Sorikmas Mining tetap beroperasi karena pemerintah belum menemukan bukti langsung yang menjadikannya penyebab bencana. Semua penghentian operasi bersifat sementara, menunggu hasil audit dan verifikasi lapangan.

PT Toba Pulp Lestari (TPL)

PT TPL menjadi sorotan publik sebagai salah satu perusahaan hutan terbesar di Sumatera Utara. Namun, faktanya:

  • Pemerintah belum menyatakan TPL sebagai penyebab langsung banjir.
  • Mayoritas saham TPL dimiliki oleh Allied Hill Limited (Hong Kong).
  • Beberapa area konsesi disegel sebagai bagian dari pemeriksaan dampak lingkungan, bukan sanksi final.
  • Operasional perusahaan dijalankan sesuai izin resmi dan standar tata ruang pemerintah.

Organisasi lingkungan menekankan bahwa penggundulan hutan dan aktivitas industri di hulu sungai meningkatkan risiko banjir, tetapi hubungan langsung TPL dengan bencana belum dibuktikan secara hukum.

Analisis Lingkungan dan Risiko

Hasil pemantauan dan analisis awal oleh KLHK dan organisasi lingkungan menegaskan:

  • Penggundulan lahan mengurangi kemampuan tanah menahan air.
  • Pembukaan lahan miring dan perbukitan oleh tambang, perkebunan, dan HTI meningkatkan risiko longsor.
  • Hujan ekstrem menyebabkan air langsung mengalir ke hilir, memicu banjir bandang.

Pemerintah terus melakukan audit dan verifikasi lapangan, pemetaan DAS kritis, pengawasan izin, serta analisis hidrologi untuk memastikan hubungan aktivitas perusahaan dengan bencana.