BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Program internet gratis Starlink untuk korban bencana banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatera kembali menjadi sorotan setelah muncul laporan dugaan pungutan liar (pungli) oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Meski perusahaan milik Elon Musk tersebut secara resmi menyatakan bahwa seluruh layanan di zona terdampak bencana diberikan tanpa biaya, sejumlah warga melaporkan bahwa mereka tetap diminta membayar untuk dapat mengakses jaringan tersebut.

Layanan Gratis Starlink: Kebijakan Resmi dalam Situasi Darurat

Starlink, penyedia layanan internet berbasis satelit milik SpaceX, menerapkan kebijakan global bahwa setiap kali terjadi bencana alam besar, akses internet akan diberikan secara gratis untuk membantu pemulihan komunikasi. Kebijakan ini diterapkan sejak awal kehadiran Starlink di berbagai negara dan kembali diaktifkan setelah banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan wilayah lain pada akhir 2025.

Dalam pernyataan resmi, Starlink menegaskan bahwa layanan gratis diberikan untuk semua pelanggan—baik baru maupun lama—yang berada di zona bencana hingga 31 Desember 2025. Tujuannya adalah memastikan warga tetap bisa berkomunikasi, mencari keluarga, menerima informasi evakuasi, serta berkoordinasi dengan relawan dan pihak berwenang.

Elon Musk, CEO SpaceX dan pemilik Starlink, turut mengomentari situasi tersebut. Ia menegaskan bahwa layanan gratis adalah bagian dari komitmen Starlink membantu penanganan bencana secara kemanusiaan.

“Starlink tidak mengambil keuntungan dari musibah. Kami menyediakan akses gratis untuk membantu masyarakat dalam situasi darurat,” ujar Musk melalui keterangan yang dikutip oleh sejumlah media internasional, Sabtu (6/12/2025)

Pernyataan tersebut memperkuat posisi resmi perusahaan bahwa layanan darurat seharusnya diberikan tanpa biaya apa pun kepada masyarakat terdampak.

Dugaan Pungli: Laporan Warga Menyatakan Ada Tarif Rp20 Ribu per Jam

Meski kebijakan Starlink jelas, laporan yang beredar dari beberapa posko pengungsian—khususnya di Aceh—mengungkapkan bahwa akses internet Starlink justru disewakan dengan tarif sekitar Rp20.000 per jam. Sejumlah warga mengaku diminta membayar sebelum diberikan kata sandi untuk menggunakan jaringan WiFi.

Beberapa video dan foto yang beredar di media sosial memperlihatkan adanya papan informasi yang menyebut tarif penggunaan Starlink di lokasi pengungsian. Warga mengeluhkan bahwa layanan yang seharusnya gratis justru dimanfaatkan sebagai peluang mencari keuntungan oleh oknum.

Kondisi ini memicu kritik luas dari masyarakat, terutama karena korban bencana yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan dasar justru dihadapkan pada hambatan tambahan dalam mengakses layanan komunikasi.

Tanggapan Distributor Resmi di Indonesia

FiberStar, salah satu mitra distribusi resmi Starlink di Indonesia, menyatakan bahwa seluruh layanan untuk korban bencana secara tegas tidak dipungut biaya. Mereka menegaskan bahwa jika ada pungutan, hal tersebut bukan berasal dari pihak perusahaan.

Dalam keterangan tertulis, FiberStar mengingatkan bahwa layanan gratis hanya berlaku untuk kategori pengguna residensial atau personal. Sementara untuk kategori enterprise atau lembaga masih menunggu kebijakan lanjutan. Meski demikian, dalam konteks bencana, FiberStar menegaskan tidak pernah mengizinkan ada pungutan kepada warga.

Starlink diketahui telah menyalurkan perangkat di sejumlah titik, termasuk:

– Aceh Besar
– Pidie
– Langsa
– Beberapa titik di Sumatera Utara, termasuk gedung logistik di Medan
– Wilayah terdampak di Sumatera Barat

Perangkat ini awalnya ditempatkan untuk mendukung komunikasi darurat di posko dan titik evakuasi. Namun laporan pungli membuat publik mempertanyakan pengawasan distribusi perangkat di lapangan.

Belum Ada Pernyataan Resmi dari Aparat Penegak Hukum

Hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari kepolisian atau pemerintah pusat terkait investigasi dugaan pungli layanan gratis Starlink. Namun meningkatnya sorotan publik dan besarnya dampak bantuan telekomunikasi dalam bencana diperkirakan akan mendorong proses penelusuran lebih lanjut.

Beberapa aktivis kemanusiaan mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk segera melakukan pengecekan di lapangan guna memastikan bahwa akses internet yang sangat dibutuhkan korban benar-benar diberikan secara cuma-cuma sesuai komitmen Starlink.

Akses komunikasi merupakan kebutuhan krusial ketika bencana terjadi. Korban perlu:

– mencari keluarga yang terpisah,
– menghubungi layanan darurat,
– melaporkan situasi,
– menerima informasi evakuasi,
– serta mengakses bantuan digital dan administrasi.

Pungli terhadap layanan internet darurat dapat menghambat proses ini dan memperburuk kondisi warga.

Selain itu, pungli semacam ini berpotensi merusak reputasi bantuan kemanusiaan, baik dari pihak internasional maupun pemerintah.

Pihak Starlink, FiberStar, dan sejumlah relawan kemanusiaan mengimbau masyarakat untuk melaporkan bila menemui praktik pungli dalam bentuk:

– tarif penggunaan WiFi,
– penjualan kata sandi,
– penyewaan hotspot,
– atau pungutan lain yang diklaim sebagai “biaya Starlink”.

Laporan dianjurkan disertai bukti seperti foto, video, atau saksi agar dapat ditindaklanjuti dengan cepat oleh pihak terkait.

Kontroversi ini menunjukkan pentingnya pengawasan distribusi bantuan digital dalam situasi bencana. Sementara Starlink telah menegaskan komitmennya menyediakan layanan gratis, dugaan penyalahgunaan di lapangan membuat transparansi dan koordinasi menjadi hal yang sangat diperlukan.

Kasus ini masih berkembang, dan masyarakat menunggu kepastian dari aparat terkait untuk memastikan bantuan internet gratis benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.