BONA NEWS. Sumatera Utara. — Media sosial kerap menjadi ruang ekspresi warga. Tapi ketika kritik berubah menjadi hujatan, hukum bisa ikut bicara. Itulah yang kini tengah menjadi sorotan publik di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), Sumatera Utara.
Kasus ini mencuat sejak pertengahan Juni 2025, setelah seorang warga berinisial KBS (44) diduga menulis unggahan bernada kasar yang menyasar langsung kepada Bupati Sergai H. Darma Wijaya dan Kapolres Sergai AKBP Oxy Yudha Pratesta. Unggahan tersebut tersebar melalui akun Facebook pribadinya dan menuai reaksi cepat dari pihak yang merasa dirugikan.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pada tanggal 9 Juni 2025, Bupati Sergai melayangkan laporan resmi ke Polres atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Laporan tersebut tercatat dengan nomor LP/B/201/VI/2025/SPKT/Polres Sergai/Polda Sumut.
Dalam unggahan yang dimaksud, KBS menulis kalimat dengan nada yang dinilai tidak etis dan bahkan mencantumkan akun resmi kepolisian. Postingan itu pun viral di kalangan netizen Sergai, memancing komentar dan beragam reaksi.
Tak lama berselang, Satreskrim Polres Sergai memanggil KBS untuk dimintai keterangan. Pemeriksaan pertama dilakukan pada 20–21 Juni, dan pemeriksaan lanjutan berlangsung pada awal Juli 2025.
Masih dalam Penyelidikan, Belum Ada Penahanan
Meski telah dua kali diperiksa, status KBS hingga pertengahan Juli 2025 masih sebagai terlapor dalam tahap penyelidikan. Polisi menegaskan bahwa proses hukum tetap berjalan dan mereka masih mengumpulkan alat bukti serta keterangan tambahan untuk menentukan apakah kasus ini dapat dinaikkan ke tahap penyidikan.
Kapolres Sergai melalui Kanit Reskrim menyampaikan bahwa penyidik masih bekerja hati-hati, mengingat kasus ini menyangkut unsur ekspresi publik yang harus diuji melalui ketentuan UU ITE dan juga etika bermedia sosial.
Antara Keadilan dan Etika Digital
Banyak tokoh masyarakat, termasuk anggota DPRD Sergai, mendorong agar penegak hukum tidak ragu menegakkan aturan. Jhon Rawansen Purba, anggota dewan lokal, menyebut bahwa media sosial seharusnya menjadi sarana komunikasi yang santun, bukan tempat mencaci maki pejabat.
Sementara itu, sejumlah warganet juga mengingatkan pentingnya kebebasan berekspresi yang sehat. Kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari demokrasi, namun tetap harus disampaikan dalam bahasa yang pantas dan tidak merugikan nama baik pribadi.
Apa Kata Hukum?
Mengacu pada Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan konten yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dikenakan pidana maksimal 6 tahun penjara atau denda hingga Rp1 miliar.
Namun demikian, banyak pakar hukum yang kini mendorong pendekatan edukatif ketimbang represif, terutama bila kontennya tidak mengandung ujaran kebencian atau ancaman serius.
Pentingnya Literasi Digital di Kabupaten Sergai
Kasus ini menjadi momentum reflektif bagi semua pihak, baik pemerintah, aparat, maupun masyarakat. Di era digital saat ini, setiap status, komentar, dan unggahan memiliki jejak yang bisa berdampak hukum.
Pemerintah daerah Sergai sendiri tengah menyusun program literasi digital untuk meningkatkan pemahaman warga dalam menggunakan media sosial secara bertanggung jawab.
Menurut pengamatan sejumlah penggiat literasi, banyak kasus serupa di Indonesia berawal dari ketidaktahuan pengguna tentang batas antara kritik yang sah dan ujaran yang bisa dikriminalkan.
Menanggapi kasus ini, sejumlah pengamat kebijakan publik berharap ada pendekatan dialog yang lebih luas. Bahwa pejabat publik juga membuka ruang klarifikasi atau diskusi terbuka, dan masyarakat bisa menyampaikan aspirasi secara sehat.
Sebaliknya, warga pun dituntut untuk tidak gegabah saat menulis sesuatu di ruang digital. Hukum ada untuk menjaga agar ruang publik tidak menjadi tempat yang bebas dari tanggung jawab. (Red)

