BONA NEWS. Jakarta Raya. — Sorotan publik terhadap elit pemerintahan makin tajam setelah terkuaknya fakta bahwa tak kurang dari 30 orang wakil menteri di Kabinet Prabowo-Gibran ternyata merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN. Praktik ini memang tidak melanggar hukum secara eksplisit, namun secara etika dan kepantasan publik, banyak yang menilai ini sebagai simbol kerakusan kekuasaan.
Dalam catatan investigatif redaksi, mayoritas para wakil menteri ini memiliki jabatan strategis di kementerian, namun di saat bersamaan juga mengisi posisi penting sebagai komisaris, bahkan komisaris utama, di berbagai perusahaan milik negara. Hal ini bukan hanya mengaburkan batas antara pengawasan dan pelaksanaan kebijakan, tapi juga membuka peluang konflik kepentingan yang nyata.
Sebut saja Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian, yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia. Lalu ada Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan, yang turut menduduki posisi sebagai komisaris di Bank Tabungan Negara (BTN). Sementara itu, Giring Ganesha, yang menjabat Wakil Menteri Kebudayaan, merangkap sebagai komisaris di PT GMF AeroAsia, perusahaan layanan perawatan pesawat.
Kasus lainnya, Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ternyata duduk sebagai Komisaris Utama Telkomsel, sementara Veronica Tan, yang menjabat Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menjadi komisaris di Citilink.
Yang menarik, beberapa nama justru menempati posisi puncak dalam jajaran komisaris. Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri BUMN, selain menjalankan tugas-tugas kementerian, juga menjabat sebagai Komisaris Utama BRI, bank terbesar milik negara. Bahkan, Angga Raka Prabowo, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, ditunjuk menjadi Komisaris Utama PT Telkom, perusahaan telekomunikasi pelat merah.
Dalam struktur pemerintahan yang ideal, jabatan wakil menteri bukanlah jabatan simbolik. Mereka bertugas membantu menteri dalam urusan strategis dan eksekusi kebijakan nasional. Namun dengan realitas rangkap jabatan ini, publik mulai bertanya: seberapa fokus mereka bekerja untuk negara jika sebagian waktu dan energi juga tersedot ke dalam urusan bisnis perusahaan negara?
Menurut Bobby Apriliano, pemerhati sosial dan kebijakan publik dari BASL Center, fenomena ini mencerminkan kemerosotan moral dalam birokrasi Indonesia.
“Mereka bukan hanya rangkap jabatan. Mereka sedang rangkap kepentingan. Ini bukan pelayanan publik, ini koleksi jabatan. Ini bukan pengabdian, ini perburuan posisi,” tegas Bobby Apriliano, Kamis (17/7/2025).
Lebih jauh, Bobby Apriliano menilai bahwa rangkap jabatan yang dilakukan oleh para wakil menteri, meskipun tidak melanggar aturan hukum, merusak semangat reformasi birokrasi yang sejak lama digaungkan.
“Presiden seharusnya tidak tinggal diam. Kalau dibiarkan, kita akan menyaksikan pemerintah yang dikuasai bukan oleh mereka yang bekerja, tapi oleh mereka yang pandai berbagi kursi. Ini ancaman serius terhadap profesionalisme dan integritas tata kelola pemerintahan,” tambahnya.
Sebagian besar perusahaan BUMN tempat para wamen menjadi komisaris adalah entitas bisnis yang bergerak di sektor vital: energi, telekomunikasi, perbankan, hingga transportasi. Beberapa nama lain yang ikut rangkap jabatan adalah Silmy Karim sebagai komisaris Telkom, Ossy Dermawan sebagai komisaris Telkom, Suahasil Nazara sebagai komisaris PLN, Dante Saksono di Pertamina Bina Medika, Stella Christie di Pertamina Hulu Energi, hingga Taufik Hidayat di PLN Energi Primer.
Ada juga nama Helmy Faishal Zaini, Wakil Menteri Pendidikan Dasar, yang menjabat komisaris di Pelita Air, serta Juri Ardiantoro di Jasa Marga dan Suntana di Pelindo. Beberapa perempuan juga masuk dalam daftar ini, seperti Dyah Roro Esti yang menjabat sebagai Komisaris Utama Sarinah dan Diana Kusumastuti di Brantas Abipraya.
Dua nama tambahan adalah Nezar Patria, Wakil Menteri Kominfo II, yang menjadi Komisaris Utama PT Indosat Ooredoo Hutchison, serta Ratu Isyana Bagoes Oka, Wakil Menteri KB/Kependudukan, yang merangkap sebagai komisaris di PT Mitratel. Nama-nama ini menggenapkan total 30 wakil menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Yang mencolok, gaji komisaris BUMN bukan angka kecil. Gaji pokok, tunjangan, dan insentif tahunan bisa mencapai total lebih dari Rp1 miliar per tahun, per orang. Artinya, para wakil menteri ini menerima gaji dari dua sumber negara secara bersamaan—sesuatu yang dalam krisis keuangan dan kepercayaan publik saat ini terasa tidak pantas.
Sejumlah pengamat bahkan menyebut fenomena ini sebagai bentuk “korupsi struktural yang disahkan oleh celah hukum”.
“Hukum memang tidak melarang wakil menteri jadi komisaris. Tapi rakyat tidak menilai lewat pasal, rakyat menilai lewat akal sehat. Dan akal sehat kita terluka melihat mereka menumpuk jabatan di saat rakyat berjuang bertahan hidup,” ujar Bobby Apriliano lagi.
Lantas bagaimana sikap lembaga hukum dan parlemen? Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 80/PUU‑XVII/2019 menyebut bahwa larangan rangkap jabatan hanya berlaku untuk menteri, tidak termasuk wakil menteri. Namun mantan Ketua MK Mahfud MD menyebut bahwa secara moral, semangat larangan itu seharusnya juga berlaku bagi seluruh anggota kabinet.
Di sisi lain, DPR RI, melalui Komisi VI, menyuarakan keprihatinan serupa. Legislator Mufti Anam menegaskan bahwa ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi persoalan keadilan sosial. “Saat rakyat susah cari kerja, pejabat malah koleksi jabatan. Ini soal kepekaan,” ujarnya.
Berbagai kalangan kini mendesak Presiden Prabowo untuk mengevaluasi komposisi kabinet dan segera menghapus praktik rangkap jabatan di kalangan wakil menteri. Di saat yang sama, publik menyerukan perlunya revisi regulasi yang lebih tegas agar pejabat publik tidak bisa lagi merangkap jabatan di perusahaan negara, apalagi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Apabila tidak segera diselesaikan, maka yang rugi bukan hanya rakyat, tapi legitimasi pemerintah itu sendiri.
“Selama jabatan dianggap sebagai prestasi pribadi, bukan tanggung jawab publik, maka kursi kekuasaan hanya akan jadi barang koleksi. Dan rakyat akan jadi penonton yang muak,” pungkas Bobby Apriliano.
(Red:ND)
