BONA NEWS. Jakarta, Indonesia.  — Pemerintah Indonesia resmi meluncurkan kebijakan besar di sektor keuangan berupa injeksi likuiditas senilai Rp 200 triliun ke sistem perbankan nasional. Kebijakan ini merupakan salah satu langkah strategis Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang ditargetkan dapat mencapai 6 persen mulai tahun depan.

Menurut Purbaya, dana tersebut ditempatkan di sejumlah bank milik negara untuk memperkuat likuiditas dan memperluas penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif.

“Kita harus memastikan ekonomi bergerak lebih cepat. Likuiditas besar ini akan membantu memperlancar pembiayaan ke sektor riil,” ujar Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2025.

Rencana ini bermula dari evaluasi yang dilakukan Kementerian Keuangan sejak awal September 2025. Saat itu, Purbaya mengungkapkan bahwa sebagian besar dana pemerintah masih “mengendap” di rekening Bank Indonesia dan belum memberikan dampak ekonomi langsung. Ia menilai kondisi tersebut membuat sistem keuangan “kering” dan memperlambat pergerakan sektor riil.

Pada 10 September 2025, Purbaya mengumumkan keputusan untuk lp memindahkan sekitar Rp 200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank umum mitra pemerintah.

“Sistem keuangan kita kering karena uang pemerintah terlalu banyak tertahan. Sekarang saatnya kita kembalikan ke perbankan agar bisa mengalir ke masyarakat,” ujarnya saat itu.

Beberapa hari kemudian, pada 12 September 2025, Purbaya menandatangani Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025 tentang Penempatan Dana Pemerintah di Bank Umum Mitra. Aturan ini menjadi dasar hukum bagi injeksi likuiditas tersebut.

Dalam keputusan itu ditegaskan bahwa dana yang ditempatkan hanya boleh digunakan untuk pemberian kredit kepada sektor produktif, bukan untuk pembelian surat berharga, obligasi, atau kegiatan spekulatif di pasar modal. Penempatan dana juga bersifat sementara dengan tenor enam bulan dan dapat diperpanjang bila dinilai efektif.

Bank Penyalur dan Realisasi Awal

Penempatan dana difokuskan kepada lima bank besar anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara): Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

Hingga awal Oktober 2025, Kementerian Keuangan mencatat bahwa sekitar 56 persen dari total dana atau setara dengan Rp 112,4 triliun telah disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat dan dunia usaha.

Rinciannya adalah sebagai berikut:

  • Bank Mandiri telah menyalurkan Rp 40,6 triliun dari alokasi Rp 55 triliun.
  • Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyalurkan Rp 33,9 triliun dari total Rp 55 triliun.
  • Bank Negara Indonesia (BNI) menyalurkan Rp 27,6 triliun dari Rp 55 triliun.
  • Bank Tabungan Negara (BTN) menyalurkan Rp 4,8 triliun dari Rp 25 triliun.
  • Bank Syariah Indonesia (BSI) menyalurkan Rp 5,5 triliun dari Rp 10 triliun.

Purbaya mengatakan bahwa jika hasil penyaluran tahap pertama menunjukkan dampak positif, pemerintah siap menambah alokasi dana.

“Kalau masih kurang, kita bisa tambah lagi. Tujuannya agar sektor riil kembali hidup,” ujar Purbaya di Jakarta, 9 Oktober 2025.

Ia menegaskan bahwa langkah ini juga dimaksudkan untuk memperbaiki persepsi terhadap kekuatan fiskal Indonesia.

“Selama ini orang bilang fiskal kita lemah, tidak punya uang. Sekarang justru kita punya kelebihan likuiditas yang bisa dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan,” tambahnya.

Target Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen

Dalam kesempatan yang sama, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan keyakinannya bahwa kebijakan ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen. Ia menilai efek dari injeksi dana akan mulai terasa pada kuartal IV tahun 2025, dengan proyeksi pertumbuhan mencapai sekitar 5,5 persen di periode tersebut, lalu meningkat menjadi 6 persen pada tahun 2026.

“Dengan likuiditas tambahan sebesar Rp 200 triliun, kredit akan mengalir lebih cepat. Jika perputaran uang meningkat di sektor riil, maka pertumbuhan ekonomi bisa naik satu persen poin dari posisi sekarang,” ujar Purbaya.

Ia menambahkan, langkah ini juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen dalam jangka menengah. Menurut Purbaya, target itu tidak berlebihan asalkan sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter berjalan dengan baik.

Fokus ke Sektor Produktif dan UMKM

Kementerian Keuangan menekankan bahwa dana likuiditas ini harus benar-benar sampai ke sektor produktif, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertanian, serta industri manufaktur yang berorientasi ekspor.

Purbaya menyebutkan, setiap bank penerima dana wajib melaporkan penggunaan dana secara bulanan kepada Kementerian Keuangan.

“Kami tidak ingin uang ini hanya berputar di perbankan. Harus sampai ke pelaku usaha, terutama UMKM dan sektor yang menciptakan lapangan kerja,” katanya.

Pemerintah juga membuka kemungkinan memperluas penyaluran dana ke bank pembangunan daerah (BPD) jika realisasi di bank-bank besar belum optimal.

“Kalau bank Himbara lambat menyalurkan, dana bisa kita geser sebagian ke bank daerah. Kita ingin efeknya terasa sampai ke daerah,” ungkap Purbaya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025.

Kebijakan ini mendapat dukungan dari sejumlah ekonom, meski dengan sejumlah catatan.

Ekonom senior Eko Listiyanto dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai bahwa suntikan likuiditas sebesar Rp 200 triliun dapat mempercepat pemulihan ekonomi jika dibarengi dengan kebijakan moneter yang mendukung.

“Langkah ini positif, asal bank juga mau menurunkan suku bunga kredit dan mempercepat proses penyaluran ke sektor riil,” ujarnya pada 8 Oktober 2025.

Sementara itu, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memperkirakan kebijakan ini bisa menambah laju pertumbuhan ekonomi antara 0,3 hingga 0,6 poin persentase. Namun, efek maksimal hanya akan tercapai bila dana tersebut terserap ke sektor produktif, bukan ke konsumsi jangka pendek.

“Kalau kredit produktif tumbuh, dampaknya ke lapangan kerja dan pendapatan akan besar,” kata Josua.

Catatan Risiko dan Tantangan

Meskipun langkah ini dianggap progresif, para analis juga menyoroti beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah.

1. Permintaan Kredit Masih Lemah

Sejumlah bank melaporkan bahwa meskipun likuiditas meningkat, permintaan kredit dari dunia usaha belum melonjak signifikan. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian global dan masih lemahnya daya beli masyarakat. Jika permintaan tidak tumbuh, dana yang disuntikkan bisa “menganggur” di sistem perbankan.

2. Risiko Inflasi

Tambahan uang beredar yang besar bisa menimbulkan tekanan inflasi, terutama bila tidak diimbangi dengan peningkatan produksi barang dan jasa.

“Kalau kredit tidak produktif, uang hanya berputar di pasar keuangan dan mendorong harga naik,” ujar salah satu analis makroekonomi Bank Indonesia.

3. Pengurangan Cadangan Fiskal

Langkah pemerintah ini juga mengurangi saldo kas negara (Saldo Anggaran Lebih/SAL). Dalam lima minggu terakhir, pemerintah telah menarik sekitar Rp 286 triliun dari total cadangan sekitar Rp 457 triliun untuk mendukung berbagai program fiskal, termasuk injeksi likuiditas ini. Sejumlah ekonom memperingatkan bahwa ruang fiskal bisa semakin sempit bila tidak ada tambahan penerimaan negara.

4. Transmisi Kebijakan

Efektivitas kebijakan juga tergantung pada koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Jika kebijakan moneter masih ketat, misalnya dengan suku bunga tinggi, maka injeksi fiskal bisa kehilangan daya dorongnya.

“Harus ada sinergi penuh antara fiskal dan moneter,” ujar Eko Listiyanto.

Purbaya menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan dana tersebut. Setiap bank penerima wajib menyampaikan laporan berkala terkait jumlah penyaluran, sektor penerima, serta tingkat pengembalian kredit.

Kementerian Keuangan juga akan membentuk tim pengawas independen yang terdiri dari unsur pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan auditor eksternal. “Kami akan pantau ketat agar tidak ada penyimpangan. Tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas dan memperkuat sektor riil,” kata Purbaya.

Pemerintah berharap injeksi likuiditas ini dapat memicu peningkatan kredit hingga Rp 1.000 triliun dalam dua tahun ke depan, dengan multiplier effect yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika berjalan sesuai rencana, sektor perbankan diharapkan mencatat pertumbuhan kredit di atas 12 persen pada akhir 2026.

Purbaya optimistis bahwa Indonesia dapat keluar dari “jebakan pertumbuhan 5 persen” yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

“Kalau kita berani mengambil kebijakan besar dan disiplin menjalankannya, 6 persen bukan angka yang mustahil,” ujarnya.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dalam rapat kabinet pekan lalu kembali menegaskan pentingnya kebijakan fiskal yang agresif namun terkendali. Ia meminta seluruh kementerian dan lembaga mendukung program penyaluran likuiditas agar manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.

Kebijakan injeksi likuiditas Rp 200 triliun menjadi langkah berani pemerintah dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menaruh harapan besar bahwa dana tersebut dapat menghidupkan kembali gairah sektor riil, memperluas akses pembiayaan, dan mengembalikan kepercayaan pelaku usaha.

Namun, sebagaimana diingatkan para ekonom, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada besarnya dana, melainkan pada efektivitas penyalurannya. Jika bank-bank penerima mampu menyalurkan kredit secara cepat, tepat sasaran, dan produktif, target pertumbuhan 6 persen dapat menjadi kenyataan.

Sebaliknya, jika dana tersebut tidak terserap atau disalurkan ke sektor yang tidak produktif, injeksi likuiditas ini bisa menjadi beban fiskal tanpa hasil nyata.

Untuk saat ini, semua mata tertuju pada bagaimana Kementerian Keuangan, perbankan, dan pelaku usaha bergerak dalam beberapa bulan ke depan. Purbaya menutup konferensi pers dengan nada optimistis:

“Kita ingin Indonesia tumbuh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih inklusif. Ini saatnya uang negara bekerja untuk rakyat.”